Jam menunjukkan pukul 19:30 . 30 menit kurang sebelum waktu
janjiku dengan Fina, namun sudah dari 15 menit yang lalu aku siap dengan
semuanya terutama penampilan yang menurutku penting untuk melewati malam yang
mungkin akan menjadi malam terpanjang. Atau malah tersingkat. Who knows
Jam 8 lewat 3 menit aku sampai di depan teras rumah Fina,
melihatnya duduk santai dengan celana sepahanya dan kaos bertuliskan “Aku Cinta
Indonesia”nya, sama sekali belum siap untuk berangkat. “kapan berangkat nih?”, “terserah,
tapi apa Aleyna udah pasti ada di Rumahnya? Udah lo sms?”, “udah tadi sore kan”
jawab ku tegas. Kurang yakin dengan jawaban ku, Fina pun mengirim pesan ke
Aleyna sekedar mengonfirmasi. Tak lama datang balasan dari Aleyna yang
benar-benar membuatnya yakin.
Akhirnya Fina pun mengajakku untuk berangkat, namun
berkebalikan, giliran aku yang tak yakin untuk pergi. Tak yakin diri ini punya
keberanian untuk melakukan hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Berbicara
jujur terus terang tentang perasaan ku kepadanya. Tak yakin kaki ini bisa
berdiri kokoh, tak yakin lisan ini akan lihai dalam berbicara. Di depannya.
Aleyna
“yee gimana sih Bar, beli kue semangat, giliran sekarang
tinggal ke rumahnya dan terus terang aja pake letoy begini!” hardik Fina yang
tak bermaksud mengejekku, sekedar memberi suntikan semangat yang dibalut
ledekan. Cukup berhasil, ketika kurasa nyali ku cukup bertambah. Pukul 20:30
aku berangkat ke rumah Aleyna, rumah yang tak asing bagiku, namun tidak untuk
malam itu. Kususuri perjalan, kunikmati setiap inchi pergerakkan motorku. Kubiarkan
kaca helm terbuka agar angin malam yang sejuk dapat membasuh wajahku yang
gugup.
6 meter dari depan rumahnya kumatikan mesin motor lalu
menuntun ke depan gerbangnya. Sambil mengeluarkan lilin dan korek api, Fina
menyuruh ku untuk tidak berisik, takut Aleyna keluar lebih dulu sebelum kuenya
siap untuk membuatnya terkejut. Kutancapkan lilin ke kue yang dilapisi coklat
krim penuh yang masih sedikit keras akibat dibiarkan membeku di dalam lemari es
selama 4 jam. Setelah kami rasa siap, Fina mengirim pesan tanda dia sudah
berada di depan Rumahnya. Bunyi besi yang beradu dengan sesamanya, menyebabkan
pintu berwarna coklat itu terbuka. Sosok yang selalu mengganggu tidurku
seketika muncul, dengan kepalanya yang melongok keluar, “FIna ya?” seru Aleyna
meyakinkan keadaan. Aleyna tidak tau bahwa aku bersama Fina. Fina berdiri di
depan pagar sambil memegang kue dihiasi lilin yang berjejer dengan setengah
badannya terhalang pagar, hanya kepalanya saja yang terlihat. Diriku bersembunyi
dibalik tubuh Fina, mencoba memberi kejutan.
‘iya Alnaa..” jawab Fina memanggil nama pendeknya Aleyna. Selangkah
demi selangkah Aleyna menghampiri gerbang. Belum sampai gerbang terbuka penuh,
Fina langsung mengagetkan Aleyna – yang berdiri lunglai memakai piyama, sudah
siap tidur namun rela kami ganggu – dengan menyodorkan kue yang dia bawa tepat
di depan wajahnya yang tanpa dosa. Seketika Aleyna kaget, tak menyangka maksud
Fina malam-malam ke rumahnya untuk memberi ucapan selamat, yang dia fikir itu
adalah hal yang tak perlu dirayakan seperti ini. Tidak menurutku.
Tak lama berselang aku keluar dari persembunyianku yang sama
sekali tak disadari oleh Aleyna, “haah ada Bara juga, ya ampuun apa ini… haha”
tawanya melayang ke seluruh penjuru ruang kalbu ku dan tak dapat disembunyikan
guratan wajah Aleyna yang membentuk arti heran. “ini ucapan selamat dari kita
Na karna kamu berhasil lolos seleksi masuk Universitas Sydney, gak bisa
disepelein gitu aja loh keberhasilan kamu itu. Harus dirayakan” terangku coba
menjelaskan ke Alna. “ngerepotin kalian banget tau gak haha, makasih banyak yaa
Bara.. Fina..” Aleyna pun mempersilahkan kami masuk, ke dalam ruang tamunya
yang cukup hening. Tergambar bahwa mereka yang di dalamnya sudah tidur, tak
lama kemudian perbincangan kami bertiga membelah kesunyiannya.
Aleyna masih tak menyangka dengan kedatangan kami berdua,
terlukis jelas dalam kata-katanya dan mimik wajah heran yang belum terhapus
sejak kami datang. Ditengah percakapan yang membisu, Fina memberi isyarat pada gesture-nya, memberi kode bahwa ini
saatnya aku terus terang kepada Aleyna. Tiba-tiba Fina izin keluar untuk
sekedar membeli cemilan, ku tahu itu hanya alibi, mencoba memberi waktu berdua
antara aku dengan Aleyna.
Cukup memakan waktu lama untuk otakku merangkai kata dalam
angan agar tidak terbelit saat berbicara dengan Aleyna. 15 menit sudah terlewati
sejak Fina minta izin keluar.
Keheningan masih merajai suasana ..
Bersambung . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar