Senin, 06 Agustus 2012

Mengantar Rindu (3)

Jam menunjukkan pukul 19:30 . 30 menit kurang sebelum waktu janjiku dengan Fina, namun sudah dari 15 menit yang lalu aku siap dengan semuanya terutama penampilan yang menurutku penting untuk melewati malam yang mungkin akan menjadi malam terpanjang. Atau malah tersingkat. Who knows

Jam 8 lewat 3 menit aku sampai di depan teras rumah Fina, melihatnya duduk santai dengan celana sepahanya dan kaos bertuliskan “Aku Cinta Indonesia”nya, sama sekali belum siap untuk berangkat. “kapan berangkat nih?”, “terserah, tapi apa Aleyna udah pasti ada di Rumahnya? Udah lo sms?”, “udah tadi sore kan” jawab ku tegas. Kurang yakin dengan jawaban ku, Fina pun mengirim pesan ke Aleyna sekedar mengonfirmasi. Tak lama datang balasan dari Aleyna yang benar-benar membuatnya yakin. 

Akhirnya Fina pun mengajakku untuk berangkat, namun berkebalikan, giliran aku yang tak yakin untuk pergi. Tak yakin diri ini punya keberanian untuk melakukan hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Berbicara jujur terus terang tentang perasaan ku kepadanya. Tak yakin kaki ini bisa berdiri kokoh, tak yakin lisan ini akan lihai dalam berbicara. Di depannya. Aleyna
“yee gimana sih Bar, beli kue semangat, giliran sekarang tinggal ke rumahnya dan terus terang aja pake letoy begini!” hardik Fina yang tak bermaksud mengejekku, sekedar memberi suntikan semangat yang dibalut ledekan. Cukup berhasil, ketika kurasa nyali ku cukup bertambah. Pukul 20:30 aku berangkat ke rumah Aleyna, rumah yang tak asing bagiku, namun tidak untuk malam itu. Kususuri perjalan, kunikmati setiap inchi pergerakkan motorku. Kubiarkan kaca helm terbuka agar angin malam yang sejuk dapat membasuh wajahku yang gugup.

6 meter dari depan rumahnya kumatikan mesin motor lalu menuntun ke depan gerbangnya. Sambil mengeluarkan lilin dan korek api, Fina menyuruh ku untuk tidak berisik, takut Aleyna keluar lebih dulu sebelum kuenya siap untuk membuatnya terkejut. Kutancapkan lilin ke kue yang dilapisi coklat krim penuh yang masih sedikit keras akibat dibiarkan membeku di dalam lemari es selama 4 jam. Setelah kami rasa siap, Fina mengirim pesan tanda dia sudah berada di depan Rumahnya. Bunyi besi yang beradu dengan sesamanya, menyebabkan pintu berwarna coklat itu terbuka. Sosok yang selalu mengganggu tidurku seketika muncul, dengan kepalanya yang melongok keluar, “FIna ya?” seru Aleyna meyakinkan keadaan. Aleyna tidak tau bahwa aku bersama Fina. Fina berdiri di depan pagar sambil memegang kue dihiasi lilin yang berjejer dengan setengah badannya terhalang pagar, hanya kepalanya saja yang terlihat. Diriku bersembunyi dibalik tubuh Fina, mencoba memberi kejutan.

‘iya Alnaa..” jawab Fina memanggil nama pendeknya Aleyna. Selangkah demi selangkah Aleyna menghampiri gerbang. Belum sampai gerbang terbuka penuh, Fina langsung mengagetkan Aleyna – yang berdiri lunglai memakai piyama, sudah siap tidur namun rela kami ganggu – dengan menyodorkan kue yang dia bawa tepat di depan wajahnya yang tanpa dosa. Seketika Aleyna kaget, tak menyangka maksud Fina malam-malam ke rumahnya untuk memberi ucapan selamat, yang dia fikir itu adalah hal yang tak perlu dirayakan seperti ini. Tidak menurutku. 

Tak lama berselang aku keluar dari persembunyianku yang sama sekali tak disadari oleh Aleyna, “haah ada Bara juga, ya ampuun apa ini… haha” tawanya melayang ke seluruh penjuru ruang kalbu ku dan tak dapat disembunyikan guratan wajah Aleyna yang membentuk arti heran. “ini ucapan selamat dari kita Na karna kamu berhasil lolos seleksi masuk Universitas Sydney, gak bisa disepelein gitu aja loh keberhasilan kamu itu. Harus dirayakan” terangku coba menjelaskan ke Alna. “ngerepotin kalian banget tau gak haha, makasih banyak yaa Bara.. Fina..” Aleyna pun mempersilahkan kami masuk, ke dalam ruang tamunya yang cukup hening. Tergambar bahwa mereka yang di dalamnya sudah tidur, tak lama kemudian perbincangan kami bertiga membelah kesunyiannya.

Aleyna masih tak menyangka dengan kedatangan kami berdua, terlukis jelas dalam kata-katanya dan mimik wajah heran yang belum terhapus sejak kami datang. Ditengah percakapan yang membisu, Fina memberi isyarat pada gesture-nya, memberi kode bahwa ini saatnya aku terus terang kepada Aleyna. Tiba-tiba Fina izin keluar untuk sekedar membeli cemilan, ku tahu itu hanya alibi, mencoba memberi waktu berdua antara aku dengan Aleyna.

Cukup memakan waktu lama untuk otakku merangkai kata dalam angan agar tidak terbelit saat berbicara dengan Aleyna. 15 menit sudah terlewati sejak Fina minta izin keluar.

Keheningan masih merajai suasana ..


Bersambung . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar