Sabtu, 20 Oktober 2012

Respect = (Nol besar)



          Sabtu siang yang cukup panas sekitar pukul 2 lewat, gue bersama temen-temen gue lagi ngerjain tugas gamtek alias Gambar Teknik di pendopo kampus. Tepatnya pendopo di depan gedung Teknik Listrik. Saat itu matahari lagi terik-teriknya, plus sudah beberapa hari tidak hujan. Namun kondisi itu gak mengurungkan niat gue ke kampus untuk sekedar ngerjain tugas bareng-bareng – apalagi Gamtek – sekalipun gue baru selesai latihan badminton. 

          Dalam kekhusyukan gue dan temen-gue yang lagi asik-asiknya ngerjain tugas yang cukup banyak – 18 gambar – tiba-tiba disebelah kiri pendopo yang kami tempati terdengar suara seperti air yang disiramkan ke tumpukan daun dan batang kering, bunyinya, “kretekk .. kretekk.. kretekk”. Pokonya hampir persis seperti bunyi air. Sumber suaranya berjarak kurang lebih 25 meter dari pendopo. Awalnya kami semua biasa aja dan sama sekali ga ada tanggapan apalagi untuk sekedar nengok dan ngecek suara apa itu. 2 menit berselang ada yang aneh, kita merasa ko’ lama-lama suara airnya makin keras bahkan bunyinya semakin melenceng dari anggapan kita bahwa itu suara air.

          Salah satu temen gue, Taufiq namanya, tiba-tiba berdiri, mau ngecek gambar-gambar yang sebelumnya dia sudah buat, apakah ada kesalahan atau tidak. Kali ini suara yang mirip gemericik air yang semakin membesar itu berhasil membuat perhatian Taufiq untuk mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Kemudian,

          “eh eh pohonnya kebakaran ..”

taufiq ngasih tau kami dengan nadanya yang santai parah. Nada santainya itu mirip seperti saat seseorang lagi ngasih tau ke temennya bahwa ada tukang cincau lewat depan rumah. ‘eh eh ada tukang cincau’. Persis seperti itu. Kami yang sedikit tersentak dengan kata ‘kebakaran’,  membuat kami menghentikan pekerjaan kami, tertarik untuk melihat ke arah sumber.
          “ eh iya fiq ya pohonnya kebakaran. Ko bisa ya? Ih gede lagi tuh”
Dengan nada yang santai namun juga heran, gue merespon seperti itu. Kali ini nada santai gue mirip seperti percakapan, ‘eh iyaya ada tukang cincau. Beli yuk. Ih cincaunya ko kenyel begini ya’ . trus temen gue 2 orang, cewek, juga merespon kejadian itu tanpa panik sama sekali. Cuma bilang,

“itu darimana ya apinya? Apa ada yang bakar sampah disitu?”

“atau mungkin ada yang buang puntung rokok di tumpukan daun kering kali!”

“mungkin! Atau bisa jadi karena saking kering dan panasnya, sekalinya ada gesekan dari batang atau ranting yang jatoh bisa nimbulin api dan kebaran gitu”

“emang bisa? Kali dah zmi” salah satu temen gue ga percaya

“iya bisa tau, kan kebaran hutan juga salah satu penyebabnya itu” taufiq menimpali untuk meng-iya-kan pendapat gue. 

Percakapan ini berlangsung disaat ada pohon pinus yang lokasinya berdampingan dengan Gedung Teknik Mesin, dan tingginya sekitar 10 meter lebih, sedang terbakar hebat. Gue juga ga ngerti kenapa kita sama sekali ga ada respon untuk ngambil air atau sekedar ngasih tau ke mahasiswa atau satpam yang lagi di Pos di dekat parkiran. Yang ada kita malah asik diskusiin kenapa pohon itu bisa kebakar dan hal-hal lainnya yang gapenting – untuk keadaan genting seperti itu. Padahal mahasiswa yang lagi asik nongkrong-nongkrong di depan gedung Pusgiwa (Pusat Kegiatan Mahasiswa) yang jaraknya bahkan lebih jauh dari pohon yang terbakar itu ketimbang kami yang hanya berjarak 25 meter, sudah panik dan berlarian. Ada yang berlari ke TKP, ada yang ke pos satpam, dan ada juga yang ke kamar mandi untuk mengambil air.

Melihat mahasiswa yang lain berlarian dengan panic dan berusaha untuk mematikan apinya, kita yang masih saja berdiskusi sama sekali gak tergerak untuk bantuin. Yang ada malah,

“pada lari-larian tuh, kita bantuin gak?”

Sesaat hening. Masing-masing berpikir apakah membantu atau tidak. Bahkan pertanyaan ini malah dibalas dengan pertanyaan lain,

          “ini bisa nyamber ke sini ga ya? Ngeri juga nih kalo gambar-gambar kita kena”. Dalam hal se-darurat ini kita masiih aja mikirin diri sendiri. Padahal ada gedung yang terancam ikut terbakar.

          “oh iya serem juga nih kalo nyamber kesini. Mending kita beres-beres dulu deh”.

 Gue yang dengan santainya, sambil berjalan ke arah jalan yang memisahkan antara pohon dengan pendopo kami. mengecek apakah apinya bisa menyambar ke arah pohon dekat lokasi kami. setelah yakin, gue kembali ke pendopo, dan bilang

          “engga ko ga nyamber kesini, kan kita kepisah sama jalan, kalo apinya bisa loncat baruu deh mungkin bisa nyamber kesini”.

          “yaudah yuk beresin dulu tugasnya, abu daunnya terbang-terbangan nih nanti kotor lagi gambarnya” 

          “abis beresin kita pulang ya, udah mau sore juga soalnya”

          “he’eh, udah ga enak juga momennya gara-gara kebakaran itu”

Percakapan ini diiringi dengan suara teriakan mahasiswa di TKP, ‘woy aer woy aer!’ ‘Itu itu matiin yang disitu dulu!’ ‘ambil aer lagi geblek’ ‘telpon pemadam kebakaran!’
Setelah sekitar 10 menit pohon itu terbakar, Akhirnya apinya padam juga. Gue ga habis pikir kita bisa sesantai itu. Untung aja apinya gak menjalar ke gedung Teknik Mesin, jika iya sampe nyamber ke gedung itu, gue ga percaya kalo gue dan temen-temen gue masih bisa bersikap santai seperti tadi. Kalo iya, mungkin kami ini termasuk Mahasiswa Murtad

         

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar