Sabtu siang
yang cukup panas sekitar pukul 2 lewat, gue bersama temen-temen gue lagi
ngerjain tugas gamtek alias Gambar Teknik di pendopo kampus. Tepatnya pendopo
di depan gedung Teknik Listrik. Saat itu matahari lagi terik-teriknya, plus sudah beberapa hari tidak hujan. Namun
kondisi itu gak mengurungkan niat gue ke kampus untuk sekedar ngerjain tugas
bareng-bareng – apalagi Gamtek – sekalipun gue baru selesai latihan badminton.
Dalam kekhusyukan
gue dan temen-gue yang lagi asik-asiknya ngerjain tugas yang cukup banyak – 18 gambar
– tiba-tiba disebelah kiri pendopo yang kami tempati terdengar suara seperti
air yang disiramkan ke tumpukan daun dan batang kering, bunyinya, “kretekk ..
kretekk.. kretekk”. Pokonya hampir persis seperti bunyi air. Sumber suaranya
berjarak kurang lebih 25 meter dari pendopo. Awalnya kami semua biasa aja dan
sama sekali ga ada tanggapan apalagi untuk sekedar nengok dan ngecek suara apa
itu. 2 menit berselang ada yang aneh, kita merasa ko’ lama-lama suara airnya
makin keras bahkan bunyinya semakin melenceng dari anggapan kita bahwa itu
suara air.
Salah satu
temen gue, Taufiq namanya, tiba-tiba berdiri, mau ngecek gambar-gambar yang
sebelumnya dia sudah buat, apakah ada kesalahan atau tidak. Kali ini suara yang
mirip gemericik air yang semakin membesar itu berhasil membuat perhatian Taufiq
untuk mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Kemudian,
“eh eh pohonnya
kebakaran ..”
taufiq ngasih tau kami dengan
nadanya yang santai parah. Nada santainya itu mirip seperti saat seseorang lagi
ngasih tau ke temennya bahwa ada tukang cincau lewat depan rumah. ‘eh eh ada
tukang cincau’. Persis seperti itu. Kami yang sedikit tersentak dengan kata ‘kebakaran’, membuat kami menghentikan pekerjaan kami,
tertarik untuk melihat ke arah sumber.
“ eh iya fiq ya
pohonnya kebakaran. Ko bisa ya? Ih gede lagi tuh”
Dengan nada yang santai namun
juga heran, gue merespon seperti itu. Kali ini nada santai gue mirip seperti
percakapan, ‘eh iyaya ada tukang cincau. Beli yuk. Ih cincaunya ko kenyel
begini ya’ . trus temen gue 2 orang, cewek, juga merespon kejadian itu tanpa panik
sama sekali. Cuma bilang,
“itu darimana ya apinya? Apa ada
yang bakar sampah disitu?”
“atau mungkin ada yang buang puntung
rokok di tumpukan daun kering kali!”
“mungkin! Atau bisa jadi karena
saking kering dan panasnya, sekalinya ada gesekan dari batang atau ranting yang
jatoh bisa nimbulin api dan kebaran gitu”
“emang bisa? Kali dah zmi” salah satu
temen gue ga percaya
“iya bisa tau, kan kebaran hutan
juga salah satu penyebabnya itu” taufiq menimpali untuk meng-iya-kan pendapat
gue.
Percakapan ini berlangsung disaat
ada pohon pinus yang lokasinya berdampingan dengan Gedung Teknik Mesin, dan
tingginya sekitar 10 meter lebih, sedang terbakar hebat. Gue juga ga ngerti
kenapa kita sama sekali ga ada respon untuk ngambil air atau sekedar ngasih tau
ke mahasiswa atau satpam yang lagi di Pos di dekat parkiran. Yang ada kita
malah asik diskusiin kenapa pohon itu bisa kebakar dan hal-hal lainnya yang
gapenting – untuk keadaan genting seperti itu. Padahal mahasiswa yang lagi asik
nongkrong-nongkrong di depan gedung Pusgiwa (Pusat Kegiatan Mahasiswa) yang
jaraknya bahkan lebih jauh dari pohon yang terbakar itu ketimbang kami yang
hanya berjarak 25 meter, sudah panik dan berlarian. Ada yang berlari ke TKP,
ada yang ke pos satpam, dan ada juga yang ke kamar mandi untuk mengambil air.
Melihat mahasiswa yang lain
berlarian dengan panic dan berusaha untuk mematikan apinya, kita yang masih
saja berdiskusi sama sekali gak tergerak untuk bantuin. Yang ada malah,
“pada lari-larian tuh, kita
bantuin gak?”
Sesaat hening. Masing-masing berpikir apakah membantu atau
tidak. Bahkan pertanyaan ini malah dibalas dengan pertanyaan lain,
“ini bisa
nyamber ke sini ga ya? Ngeri juga nih kalo gambar-gambar kita kena”. Dalam hal
se-darurat ini kita masiih aja mikirin diri sendiri. Padahal ada gedung yang
terancam ikut terbakar.
“oh iya serem
juga nih kalo nyamber kesini. Mending kita beres-beres dulu deh”.
Gue yang
dengan santainya, sambil berjalan ke arah jalan yang memisahkan antara pohon
dengan pendopo kami. mengecek apakah apinya bisa menyambar ke arah pohon dekat
lokasi kami. setelah yakin, gue kembali ke pendopo, dan bilang
“engga ko ga
nyamber kesini, kan kita kepisah sama jalan, kalo apinya bisa loncat baruu deh
mungkin bisa nyamber kesini”.
“yaudah yuk
beresin dulu tugasnya, abu daunnya terbang-terbangan nih nanti kotor lagi
gambarnya”
“abis beresin
kita pulang ya, udah mau sore juga soalnya”
“he’eh, udah ga
enak juga momennya gara-gara kebakaran itu”
Percakapan ini diiringi dengan suara teriakan mahasiswa di
TKP, ‘woy aer woy aer!’ ‘Itu itu matiin yang disitu dulu!’ ‘ambil aer lagi
geblek’ ‘telpon pemadam kebakaran!’
Setelah sekitar 10 menit pohon itu terbakar, Akhirnya apinya
padam juga. Gue ga habis pikir kita bisa sesantai itu. Untung aja apinya gak
menjalar ke gedung Teknik Mesin, jika iya sampe nyamber ke gedung itu, gue ga
percaya kalo gue dan temen-temen gue masih bisa bersikap santai seperti tadi. Kalo
iya, mungkin kami ini termasuk Mahasiswa Murtad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar