lanjutan ..
cerita sebelumnya: "kepada waktu yang terlalu tergesa-gesa"
cerita sebelumnya: "kepada waktu yang terlalu tergesa-gesa"
Sampai di
Gambir kami pun mempercepat langkah kami menuju gerbang keberangkatan. melewati
lorong yang di sisinya banyak toko makanan, disewa oleh pihak stasiun. Dari
kejauhan terlihat cukup ramai, ditambah dengan beberapa personel TNI
berjaga-jaga. Langkah kami terhenti di depan pintu keberangkatan. Sedikit
terkejut melihat spanduk bertuliskan “Batas Pengantar” diatas pintu masuk.
Sangat jelas menyiratkan bahwa untuk para pengantar tidak diizinkan untuk
memasuki peron, hanya sampai gerbang keberangkatan. Mata kami sibuk menyisir
sekitar, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dia. jam sudah menunjukkan pukul
17:15. ‘sudah terlambat’ pikir gue. Karna keretanya pun tertulis di jadwal tiba
jam 17:00. Satu-satunya hal yang gue harapkan saat itu adalah .. adanya keterlambatan
kedatangan kereta Gadjayana. Karna jika terlambat, masih memungkinkan untuk
bertemu dengannya.
harapan itu seperti sirna ketika mendengar
suara petugas stasiun dari pengeras suara yang tergantung di tiang, “kereta Api
Gadjayana jurusan Malang sudah berada di peron 1. Kereta akan diberangkatkan
pukul 17:30. Bagi penumpang yang sudah mempunyai tiket diharapkan segera
memasuki kereta …” seketika membuat lutut kami bertiga lemas. Menyadari tak
bisa mengantar keberangkatannya. Namun mata Uty tak mencoba berhenti mencari
sesosok sahabatnya itu, tiba-tiba Uty melihat Rika, sudah 10 menit berdiri di
dekat tiang. sebelah kiri dekat papan pengumuman.
“rika?! Sally mana?” Tanya Uty
penasaran
“keretanya udah dateng. Tadi dia
udah masuk ke peron dianter nyokap, bokapnya sama mamat juga Bantuin bawa barang-barangnya” rika
menjelaskan dengan mimic yang sedikit heran ddengan keterlambatan kita.
Rachmat alias mamat adalah temen gue juga, dia
sudah lebih dulu sampai di gambir bersama Rika. Kami berlima memang sudah
janjian bertemu di Gambir.
“seriuuss
ka?” Uty tak percaya. Suaranya bergetar, tak kuat membendung embun yang semakin
menumpuk di pelupuk matanya.
“serius ty.
suer deh” Rika berusaha meyakinkan Uty yang tak mau percaya dengan keadaan.
“bener ka?
Serius Sally udah masuk?” dengan ketidakyakinan gue yang lebih besar, gue
mencoba bertanya lagi kepada Rika. Berusaha menghibur diri, sekalipun tau bahwa
jawaban yang akan gue terima adalah jawaban yang sama
“serius mi.
masa lagi kaya gini gue boong. Demi deh!” Rika tak tahu lagi musti bagaimana
meyakinkan kami bertiga.
“yaaah masa
ga ketemu sih .. Sallyyy !” kali ini embun yang terlampau banyak tak dapat
tertahan lagi oleh matanya, pecah tergantikan oleh tangis dan isakannya.
“coba nih
telpon dia, kali aja masih sempet” Indra memberikan HP nya kepada Uty, membiarkan
dia yang berbicara. Memohon untuk bertemu yang terakhir kalinya, setidaknya
terakhir untuk tahun ini.
Panggilan
pertama tak dijawab. panggilan kedua … masih dengan nada sambung ..
kemudian muncul suara dari ujung sana,
“hallo ..”
suara lembut yang ia kenal itu serasa melegakan dadanya yang sesak. Ada guratan
senyum pada wajah Uty, meskipun samar.
“hallo
switty .. kamu dimana? Kesini dong ya ampun masa ga ketemu sih?” pinta Uty
dengan tangisnya yang belum berhenti namun isakannya sudah hilang.
“aku udah di
peron nih mau masuk ke kereta. Kamu dimana emang? Udah ketemu rika?”
“iya ini aku
lagi sama dia. Kamu kesini dong, please. sebentar aja swiitt .. disini ada
indra sama azmi juga” jarinya menyeka tetesan air yang mengalir di pipinya.
“takut ga
dibolehin papa switt”
“sebentar
aja ko saall, pliss” air mata Uty menjadi lebih deras
“yaudah, aku usahain ya. Tunggu aku..” jawaban
darinya kali itu seperti mengangkat beban dari dada kami. sesak terangkat. Begitu
juga harapan
Setelah
menutup telpon, kami berempat mencoba mendekati pintu keberangkatan. hampir
mendekati tentara yang berjaga-jaga.
2 menit
berlalu, terasa sangat lama. Ketidakpastian berada diantara harapan. Apakah
benar-benar bisa menemui kami. meski sebentar
Kemudian, sosok yang kami harapkan
kemunculannya sedari tadi, akhirnya terlihat. Dia berdiri diatas tangga mencari
kami, ketika mata kami tertuju, Sally
menuruni tangga dengan hati-hati. Uty yang sudah tak sabar bertemu sahabatnya
itu, nekat menerobos pintu yang dijaga tentara berjumlah sekitar 7 personel
dengan senjata lengkap. Baru saja Uty menerobos, salah satu penanggung jawab
pintu keberangkatan – bukan tentara – membentak Uty, kaget karena sebegitu
beraninya menerobos,
“hey dek mau ngapain?” dengan tegas
penjaga membentak.
Uty sama
sekali tak menghiraukan bentakan penjaga itu. langkahnya, tubuhnya, tatapannya,
dan hatinya hanya tertuju kepada sahabatnya.
“itu pak mau ketemu temennya.
Sebentar aja kok” gue yang tetap berdiri di mulut pintu mencoba menjelaskan
kepada petugas itu. tak berani menerobos, hanya berharap mendapatkan ‘maklum’.
“Sally …!!” teriak Uty Kecil. sambil
berlari ke arah Sally yang sudah menanti di anak tangga paling bawah.
Uty menghempaskan badannya kedalam
pelukan Sally. membiarkan peluh dan rindunya terlepas oleh eratan kuatnya.
Membebaskan rasa sakit yang sakitnya mirip seperti sakit hati, namun bukan
sakit hati. Kali ini lebih dalam. Rasa
itu muncul ketika tahu bahwa sahabat terbaik akan meninggalkan kita, walaupun
hanya untuk beberapa waktu.
Pecahlah tangisan dari keduanya. Sally
mencoba menghibur Uty yang semakin terisak. Meyakinkannya bahwa dia
mengusahakan untuk pulang tiap tahun. Untuk bertemu dengannya.
“swit. Nanti
kita ketemu lagi kok. Tenang. Udah ya jangan nangis lagi” suara Sally yang
begitu mengalun justru membuat rasa kehilangan yang dimiliki Uty semakin dalam.
“jangan lama-lama ya disana ..” kali
ini Uty mencoba tegar dengan menahan air matanya. Namun suaranya yang bervibra
tak bisa berbohong. Uty hanya Tak mau membuat sahabatnya itu terbebani oleh
rasa kehilangan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar