Terproyeksi jelas kepadatan jalan dewi
sartika di spion motor gue. Teriknya sinar matahari yang menghujani Depok kala
itu dapat gue sibakkan dengan mudahnya. Fokus menunggu Indra dan Uty yang tadi
sempat izin ke pom bensin. Gue nunggu mereka di depan toko sate yang masih
tutup. 10 menit telah gugur belum ada tanda-tanda kembalinya mereka. Gue nengok
kebelakang. Tak sulit membedakan motor shogun hijau milik indra yang sudah lama
tak diproduksi oleh pabrik. Langka. Perbedaan warnanya membuat dia lebih
tampil di tengah kepadatan jalan siang itu. Akhirnya datang juga
“sorry mi lama. Oya jadi mau beli
Qur’an?” indra memastikan.
“jadi dong”
“dimana tempatnya?”
“ikutin gue aja ya” jawab gue dengan
tawa kecil
Sampai di depan, Uty merasa familiar
dengan tokonya. Dia sering melewati jalan raya di depannya. Selesai memarkirkan
motor, gue sempat diam sejenak, berpikir apakah tepat jika memberikan
Al-Qur’an. Biar lebih yakin, gue Tanya ke uty,
“Ty bener nih ngasih Qur’an? kalo
ternyata dia udah bawa Qur’an dari rumahnya gimana?” Tanya gue ragu
“yahelah mii seorang sally,
Sebanyak-banyaknya buku yang dia bawa buat pindahan, paling juga
komik-komiknya!” dengan tegasnya uty ngeyakinin ke gue.
“ bener nih? Yakin lu dia bener ga
bawa Al-Qur’an?”
“Lama lo!!” kesel dengan
keragu-raguan gue.
Perkataan
uty ada benernya juga, kemungkinan besar buku koleksinya yang dia bawa adalah
Komiknya. Berharap dia benar-benar ga bawa Qur’an.
masuk ke
toko, gue langsung menuju ke arah pojok kanan toko, tempat dimana Al-Qur’an
dipajang. Gue lihat satu-persatu. Memilih warna yang cocok dengan kesukaanya.
“ng.. Orange
.. atau coklat .. ya
Warna
orange-nya bagus tapi, karna ukurannya cukup kecil jadi tulisannya pun juga kecil. Kalo gue ga salah, Sally punya minus.
Coklaat.. mm
ga bisa dibilang warna coklat juga sih karna terlalu gelap, hampir menyerupai
warna hitam. Tapi yang ini ukurannya lebih besar begitupun tulisannya, sehingga
lebih nyaman untuk dibaca” pikir gue
Sedang asik-asiknya
memilih, gue dikagetkan dengan jam dinding toko yang menunjukkan pukul 16:07. sangat
mepet dengan waktu janji bertemu Sally.
“astaga ty udah jam segitu!”
“eh iya yaudah yuk buru! Ketinggalan
kereta yang jam empat nih!”
“nanti duluu, ini jadinya warna apa?
Menurut lo apa?” gue minta pendapat uty yang mungkin bisa lebih memudahkan gue
dalam menentukan.
“udah warna
apa aja! Orange bagus tuh” usul Uty.
“tapi warnanya terlalu mencolok dan
ukuran tulisannya keci tyl. Sally minus kan?”
“yaudah sih menurut lo aja baiknya
yang mana”
“yodah yang ini aja deh, yang
penting bacaannya kan” sembari menaruh Qur’an orange ke rak, dilanjutkan dengan
sedikit berlari kearah kasir. Selesai membayar gue langsung menuju motor. Indra
pun datang dari arah toko musik – sehabis membeli senar gitar – yang berjarak 4
toko dari tempat gue membeli Al-Qur’an.
“buruan yuk, takutnya kita sampe
Gambir sally udah berangkat!” pinta uty kepada kami berdua.
“oke oke!” jawab gue menyetujui
Kami
berencana menuju gambir menggunakan kereta commuter line dari stasiun depok
baru. Motor kami parkirkan di tempat parkir dekat stasiun yang banyak
ditawarkan oleh para pemilik rumah atau toko yang diubah menjadi tempat usaha
penitipan motor. Selesai parkir, kami bertiga menuju stasiun dengan tergesa-gesa.
Tiba-tiba sayup terdengar “kereta commuter line jurusan jakarta kota siap
diberangkatkan”. Sontak kami kaget, menyadari keterlambatan kami. kami dari
yang hanya berjalan cepat, karena mendengar pengumuman itu menjadi berlari
kecil menuju loket karcis.
“mas.. mas..
tiket ke gambir. Tiga!” uty dengan tak sabarnya
“maaf dek
tapi sampai tanggal 31 agustus kereta commuter line tidak berhenti di stasiun
gambir”
“yaahh trus
gimana dong mas?” Tanya uty pasrah
“kalo mau
adek bisa turun di gondangdia atau juanda, dari situ bisa dilanjutkan naik
bajaj”
Pilihan
sudah ada. Namun bukannya cepat memutuskan, kami bertiga malah tertegun lesu
mengetahui tidak bisa turun di gambir. Rasanya waktu sudah sangat menghimpit
jika harus turun di gondangdia atau juanda lalu meneruskan dengan naik bajaj.
Terlalu terlambat pula jika naik taksi. Kami bertiga takut. Takut tak bisa
mengantar kepergian Sally ke Malang.
“aduhh Sally ..”uty merengek.
Matanya terliha berembun
Kemudian
terdengar lagi pengumuman PT KAI dengan jelas, diikuti kereta commuter line
merah yang merapat di peron 2, “commuter line jurusan Jakarta kota sudah berada
pada peron 2. Penumpang diharapkan memeriksa lagi karcis dan barang bawaannya
agar …” mengetahui hal itu, uty dengan sergap menyuruh kita untuk cepat
“eh eh ayuk
ayuk naik kereta itu, masih sempet. Mas, Mas! Tiga tiket! Jakarta!”
“delapan
belas ribu dek”
“nih mas”
sambil menyerahkan uangnya tanpa memperdulikan kembalian. Yang hanya dipikirkan
oleh kami bertiga hanyalah bisa sampai Gambir tepat waktu.
Setelah
mendapatkan tiketnya kami berlari menuju kereta yang hampir menutup pintunya,
tapi masih sempat karena masinis melihat kami yang berlarian menuju kereta itu.
Kala itu Penumpangnya cukup padat. Namun itu hal biasa. Khususnya bagi rakyat
Jabodetabek.
Gue meyelinap
diantara penumpang yang berdesakkan, menuju ke dekat pintu yang gue lihat
sedikit lenggang. Berharap menemukan sedikit kenyamanan disana. Gue memegang
‘pegangan’ yang tergantung di langit-langit kereta dengan eratnya, mencoba
menahan goncangan kereta yang kurang mulus.
Keheningan
membungkus lamunan gue, ditemani dengan sedikit suara anak kecil yang merengek
minta mainan kepada ibunya. Di depan gue ada sepasang kekasih yang saling
berpegangan, dengan earphone menempel
pada telinga keduanya. Cukup membuat gue risih. namun itu tak membuat gue
terganggu, yang terpikirkan hanyalah sampai di Stasiun Gambir tepat waktu. Dan bertemu
Sally. Pergerakan kereta saat itu terasa sangat lama. Setiap saat pemberhentian
stasiun, gue memperhatikan rute perjalanan kereta yang terpampang diatas pintu.
menghitung pergerakan kereta yang justru terasa tak berpindah.
Lamunan gue
terpecah saat mengenali stasiun yang tergambar pada jendela kereta. Menyadari
sudah di manggarai.
“Ndra! ini
Manggarai kan? Siap-siap yuk. Dikit lagi gondangdia” ajak gue sembari menunjuk
ke arah pintu kereta. Mempersiapkan diri agar mudah keluar dari kerapatan
penumpang.
“sip” sambil
menganggukan kepalanya. Membuat kacamata nya silau terpapar sinar matahari
senja.
Kereta pun
sampai di gondangdia. Dengan cepat kami berjalan ke arah pintu keluar. Menuruni
tangga. Berjalan menuju mas-mas pemeriksa karcis. Menuruni tangga sekali lagi.
melihat banyak Bajaj berjejer di pintu keluar sebelah kanan, kami pun
memutuskan untuk menuju ke arahnya. Menerima salah satu dari tiga supir bajaj
yang menawarkan jasanya.
“Gambir ya
bang” uty yang semakin tidak sabar
“iya neng”.
Harga 10 ribu mencapai kata sepakat.
Kami bertiga
pun beranjak dari gondangdia menuju Gambir. gue melihat jam tangan yang sudah
menunjukan pukul 17:02. Gelisah semakin menggelayuti kalbu. tahu kereta
Gadjayana yang akan mengantar Sally sampai di Gambir pukul 17:00. Berharap dia belum
menaikinya ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar