Minggu, 02 September 2012

kepada waktu yang terlalu tergesa-gesa



Terproyeksi jelas kepadatan jalan dewi sartika di spion motor gue. Teriknya sinar matahari yang menghujani Depok kala itu dapat gue sibakkan dengan mudahnya. Fokus menunggu Indra dan Uty yang tadi sempat izin ke pom bensin. Gue nunggu mereka di depan toko sate yang masih tutup. 10 menit telah gugur belum ada tanda-tanda kembalinya mereka. Gue nengok kebelakang. Tak sulit membedakan motor shogun hijau milik indra yang sudah lama tak diproduksi oleh pabrik. Langka. Perbedaan warnanya membuat dia lebih tampil di tengah kepadatan jalan siang itu. Akhirnya datang juga

            “sorry mi lama. Oya jadi mau beli Qur’an?” indra memastikan.
            “jadi dong”
            “dimana tempatnya?”
            “ikutin gue aja ya” jawab gue dengan tawa kecil

            Sampai di depan, Uty merasa familiar dengan tokonya. Dia sering melewati jalan raya di depannya. Selesai memarkirkan motor, gue sempat diam sejenak, berpikir apakah tepat jika memberikan Al-Qur’an. Biar lebih yakin, gue Tanya ke uty,

            “Ty bener nih ngasih Qur’an? kalo ternyata dia udah bawa Qur’an dari rumahnya gimana?” Tanya gue ragu
            “yahelah mii seorang sally, Sebanyak-banyaknya buku yang dia bawa buat pindahan, paling juga komik-komiknya!” dengan tegasnya uty ngeyakinin ke gue.
            “ bener nih? Yakin lu dia bener ga bawa Al-Qur’an?”
            “Lama lo!!” kesel dengan keragu-raguan gue.

Perkataan uty ada benernya juga, kemungkinan besar buku koleksinya yang dia bawa adalah Komiknya. Berharap dia benar-benar ga bawa Qur’an.
masuk ke toko, gue langsung menuju ke arah pojok kanan toko, tempat dimana Al-Qur’an dipajang. Gue lihat satu-persatu. Memilih warna yang cocok dengan kesukaanya. 

“ng.. Orange .. atau coklat .. ya 
Warna orange-nya bagus tapi, karna ukurannya cukup kecil jadi tulisannya pun juga kecil. Kalo gue ga salah, Sally punya minus.
Coklaat.. mm ga bisa dibilang warna coklat juga sih karna terlalu gelap, hampir menyerupai warna hitam. Tapi yang ini ukurannya lebih besar begitupun tulisannya, sehingga lebih nyaman untuk dibaca” pikir gue

              Sedang asik-asiknya memilih, gue dikagetkan dengan jam dinding toko yang menunjukkan pukul 16:07. sangat mepet dengan waktu janji bertemu Sally.

            “astaga ty udah jam segitu!”
            “eh iya yaudah yuk buru! Ketinggalan kereta yang jam empat nih!”
            “nanti duluu, ini jadinya warna apa? Menurut lo apa?” gue minta pendapat uty yang mungkin bisa lebih memudahkan gue dalam menentukan.
“udah warna apa aja! Orange bagus tuh” usul Uty.
            “tapi warnanya terlalu mencolok dan ukuran tulisannya keci tyl. Sally minus kan?”
            “yaudah sih menurut lo aja baiknya yang mana”
            “yodah yang ini aja deh, yang penting bacaannya kan” sembari menaruh Qur’an orange ke rak, dilanjutkan dengan sedikit berlari kearah kasir. Selesai membayar gue langsung menuju motor. Indra pun datang dari arah toko musik – sehabis membeli senar gitar – yang berjarak 4 toko dari tempat gue membeli Al-Qur’an.

            “buruan yuk, takutnya kita sampe Gambir sally udah berangkat!” pinta uty kepada kami berdua.
            “oke oke!” jawab gue menyetujui

Kami berencana menuju gambir menggunakan kereta commuter line dari stasiun depok baru. Motor kami parkirkan di tempat parkir dekat stasiun yang banyak ditawarkan oleh para pemilik rumah atau toko yang diubah menjadi tempat usaha penitipan motor. Selesai parkir, kami bertiga menuju stasiun dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba sayup terdengar “kereta commuter line jurusan jakarta kota siap diberangkatkan”. Sontak kami kaget, menyadari keterlambatan kami. kami dari yang hanya berjalan cepat, karena mendengar pengumuman itu menjadi berlari kecil menuju loket karcis.

“mas.. mas.. tiket ke gambir. Tiga!” uty dengan tak sabarnya
“maaf dek tapi sampai tanggal 31 agustus kereta commuter line tidak berhenti di stasiun gambir”
“yaahh trus gimana dong mas?” Tanya uty pasrah
“kalo mau adek bisa turun di gondangdia atau juanda, dari situ bisa dilanjutkan naik bajaj”

Pilihan sudah ada. Namun bukannya cepat memutuskan, kami bertiga malah tertegun lesu mengetahui tidak bisa turun di gambir. Rasanya waktu sudah sangat menghimpit jika harus turun di gondangdia atau juanda lalu meneruskan dengan naik bajaj. Terlalu terlambat pula jika naik taksi. Kami bertiga takut. Takut tak bisa mengantar kepergian Sally ke Malang.

            “aduhh Sally ..”uty merengek. Matanya terliha berembun

Kemudian terdengar lagi pengumuman PT KAI dengan jelas, diikuti kereta commuter line merah yang merapat di peron 2, “commuter line jurusan Jakarta kota sudah berada pada peron 2. Penumpang diharapkan memeriksa lagi karcis dan barang bawaannya agar …” mengetahui hal itu, uty dengan sergap menyuruh kita untuk cepat

“eh eh ayuk ayuk naik kereta itu, masih sempet. Mas, Mas! Tiga tiket! Jakarta!”
“delapan belas ribu dek”
“nih mas” sambil menyerahkan uangnya tanpa memperdulikan kembalian. Yang hanya dipikirkan oleh kami bertiga hanyalah bisa sampai Gambir tepat waktu. 

Setelah mendapatkan tiketnya kami berlari menuju kereta yang hampir menutup pintunya, tapi masih sempat karena masinis melihat kami yang berlarian menuju kereta itu. Kala itu Penumpangnya cukup padat. Namun itu hal biasa. Khususnya bagi rakyat Jabodetabek.

Gue meyelinap diantara penumpang yang berdesakkan, menuju ke dekat pintu yang gue lihat sedikit lenggang. Berharap menemukan sedikit kenyamanan disana. Gue memegang ‘pegangan’ yang tergantung di langit-langit kereta dengan eratnya, mencoba menahan goncangan kereta yang kurang mulus.

Keheningan membungkus lamunan gue, ditemani dengan sedikit suara anak kecil yang merengek minta mainan kepada ibunya. Di depan gue ada sepasang kekasih yang saling berpegangan, dengan earphone menempel pada telinga keduanya. Cukup membuat gue risih. namun itu tak membuat gue terganggu, yang terpikirkan hanyalah sampai di Stasiun Gambir tepat waktu. Dan bertemu Sally. Pergerakan kereta saat itu terasa sangat lama. Setiap saat pemberhentian stasiun, gue memperhatikan rute perjalanan kereta yang terpampang diatas pintu. menghitung pergerakan kereta yang justru terasa tak berpindah. 

Lamunan gue terpecah saat mengenali stasiun yang tergambar pada jendela kereta. Menyadari sudah di manggarai.
“Ndra! ini Manggarai kan? Siap-siap yuk. Dikit lagi gondangdia” ajak gue sembari menunjuk ke arah pintu kereta. Mempersiapkan diri agar mudah keluar dari kerapatan penumpang.
“sip” sambil menganggukan kepalanya. Membuat kacamata nya silau terpapar sinar matahari senja.

Kereta pun sampai di gondangdia. Dengan cepat kami berjalan ke arah pintu keluar. Menuruni tangga. Berjalan menuju mas-mas pemeriksa karcis. Menuruni tangga sekali lagi. melihat banyak Bajaj berjejer di pintu keluar sebelah kanan, kami pun memutuskan untuk menuju ke arahnya. Menerima salah satu dari tiga supir bajaj yang menawarkan jasanya.

“Gambir ya bang” uty yang semakin tidak sabar
“iya neng”. Harga 10 ribu mencapai kata sepakat. 

Kami bertiga pun beranjak dari gondangdia menuju Gambir. gue melihat jam tangan yang sudah menunjukan pukul 17:02. Gelisah semakin menggelayuti kalbu. tahu kereta Gadjayana yang akan mengantar Sally sampai di Gambir pukul 17:00. Berharap dia belum menaikinya ..



Bersambung . . .

lanjut ke : "keterlambatan yang diharapkan"


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar